29/02/12
Tokoh Wayang Favoritku
Wayang, mungkin tidak asing lagi di telinga kita. kebudayaan asli Indonesia yang merupakan ciptaan dari waliyullah Sunan Kalijaga. wayang diciptakan Sunan Kalijaga sebagai metode dakwah islam agar dekat dengan kehidupan masyarakat terdahulu.
Setelah membaca beberapa cerita wayang, sering mendengarkan melalui radio, televisi dan menonton langsung pertunjukan wayang (kulit dan orang), saya jadi lebih tahu karakter beberapa tokoh wayang yang sering ditampilkan. Sebagaimana diketahui, ada 707 nama-nama pelaku dalam wayang (pelaku manusia saja), ditambah sekitar 30 nama pelaku dari dunia atas/dewa. Namun, jumlah minimal yang biasa dimainkan ada 200 wayang, sedangkan 114 wayang lainnya dipajang di kiri-kanan layar.
Umumnya tipologi dalam wayang adalah tipologi manusia ideal. Yang menganggap wayang mempunyai flat characters, tentu saja akan mengidolakan tokoh-tokoh wayang yang mempunyai sifat ideal saja, dan mengabaikan sifat buruknya. Bagi yang menganggap wayang mempunyai round characters, masih akan memperhatikan sifat-sifat buruknya selain sifat idealnya, menganggap karakter wayang tidak sempurna, tetapi ada sisi negatifnya pula. Sebaliknya, ada juga yang mengidolakan golongan hitam/jahat, karena dirasa masih ada ‘sifat positif’nya dan tentu saja perlu membuang sifat buruknya. Meski Dasamuka tokoh jahat, namun masih bias ditiru ‘keteguhan’nya dalam mengejar tujuan.
Sedangkan Saya sendiri mengidolakan tokoh :
Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Ya benar, Saya mengidolakan Ki Lurah Semar karena beliau menurut saya seperti Dewa yang membumi, wawasan luas, bijaksana dalam mengasuh para ksatria,dan juga sabar.
Berikut sedikit ulasan yang akan Saya berikan mengenai tokoh idola Saya ini dalam dunia perwayangan..
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara.
Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
www.gunadarma.ac.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar